Serba-Serbi Si Emas Hijau: Vanili Indonesia yang Menggoda Pasar Internasional
Banyak komoditas di negeri ini dengan prospek penjualan yang bagus, bukan saja di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Vanili atau yang dijuluki si emas hijau adalah satu dari sekian komoditas, khususnya komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi, harga jual tinggi, dan potensial menopang ekspor Indonesia. Dilansir dari berita online https://soloraya.solopos.com, harga vanili basah pada Maret 2023 senilai Rp300.000/kg, sedangkan vanili kering mencapai Rp1,5 juta/kg. Pasar vanili di luar negeri masih terbuka lebar. Ekspor vanili Indonesia masih sekitar lima persen dari total kebutuhan dunia. Menurut catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indonesia memiliki potensi menjadi basis ekspor vanili terbesar di dunia.
Vanili atau Vanilla planifolia, tanaman berdaging tebal menghasilkan buah polong yang dapat diolah menjadi ekstrak vanili, pasta vanili, concentrated vanilla extract, vanilla flavouring, concentrated vanilla flavouring, oleoresin vanili, dan bubuk vanili. Vanili sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Tidak hanya di industri makanan minuman, vanili juga dimanfaatkan dalam industri farmasi, serta sebagai bahan baku kosmetik, parfum, dan minyak esensial. Indonesia menjual vanili dalam bentuk polong basah dan kering. Sedangkan produk turunan vanili sudah mulai diusahakan dalam bentuk lain, seperti tepung, ekstrak, dan pasta vanili.
Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan, tahun 2021 Indonesia menempati urutan kedua sebagai produsen vanili terbesar di dunia dengan produksi mencapai 1.456,09 ton. Madagaskar memimpin dengan produksi mencapai 3.070,63 ton. Sedangkan, posisi ketiga ditempati Meksiko dengan produksi sebanyak 609,57 ton. Sentra produksi vanili di Indonesia meliputi Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, NTT, Yogyakarta, Papua, dan beberapa daerah di Sulawesi.
Walaupun pasar vanili terbuka lebar di luar negeri, budidaya vanili nyatanya penuh tantangan. Budidaya vanili cukup rumit mulai penanaman, penyerbukan, hingga panen. Tanaman vanili memerlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan bunga dan buah, yaitu setelah 3-4 tahun masa tanam. Belum lagi perubahan suhu ekstrem dan pola curah hujan yang tidak teratur, sehingga dapat meningkatkan serangan penyakit Busuk Batang Vanili (BBV). Penyakit ini juga menjadi tantangan tersendiri karena dapat memengaruhi produksi dan mutu polong vanili. Ketika serangan penyakit datang, banyak petani terpaksa menjual stek batang vanili. Lamanya waktu budidaya vanili juga menjadi persoalan petani dalam memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sehingga tak jarang dilakukan panen muda vanili.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Perkebunan, teknik budidaya vanili seperti persiapan tanam, pengolahan lahan, pemilihan benih, masih belum dikuasai oleh pekebun, sehingga jumlah pekebun yang membudidayakan vanili masih kurang. Data FAO menginformasikan bahwa produksi vanili Indonesia sempat menurun di tahun 2021 dibandingkan produksinya di tahun 2020 yang mencapai 2.306 ton per tahun. Berbeda dengan Madagaskar dan Meksiko yang mengalami kenaikan di tahun yang sama hingga mencapai 2.975 ton dan produksi vanili Meksiko adalah 589 ton.
Dukungan pemerintah kepada petani agar bisa mengembangkan pertanian yang berkelanjutan juga tak kalah penting. Pendampingan pemerintah dari sisi teknologi dapat kembali meningkatkan semangat petani dalam mengembangkan vanili. Jika produksi semakin meningkat, diharapkan kebutuhan vanili domestik tercukupi dan memungkinkan untuk diekspor.
Di balik besarnya nilai tambah dan terbukanya pasar, bukan hanya jumlah pekebun vanili yang terbatas. Namun, pelaku usaha vanili Indonesia pun tidak banyak yang tertarik memproduksi produk turunan vanili. Tantangan lainnya dalam budidaya vanili adalah harga yang fantastik menyebabkan sering terjadi pencurian vanili, sehingga petani sering merugi. Pencurian vanili terjadi saat proses polinasi. Ini juga yang mendorong petani melakukan panen muda dan menyebabkan citra vanili Indonesia jelek, yaitu panennya muda, murah harganya, dan bau asap. Karenanya, pembentukan kelembagaan petani vanili Indonesia itu penting, sehingga dapat dikembangkan standar traceability. Traceability ini perlu jadi perhatian pemerintah agar buyer tidak menjadi penadah. Pemasangan ranjau dan anjing juga bisa menjadi solusi.
Peningkatan Produksi Vanili
Selain peningkatan jumlah produksi vanili, peningkatan mutu vanili sesuai yang dipersyaratkan negara tujuan ekspor juga harus disentuh agar jumlah ekspor vanili Indonesia melampaui lima persen dari total kebutuhan dunia. Hal penting lain sejak awal, yaitu penentuan negara tujuan ekspor agar syarat mutu vanili dapat dipersiapkan dan pembinaan kepada petani untuk menjaga mutu vanili yang seragam. Untuk mendapatkan mutu/kualitas vanili yang baik, pemerintah telah menerbitkan SNI 01-7156-2006 tentang benih vanili dan SNI 01-0010-2002 terkait syarat mutu vanili yang dibedakan mutunya menjadi empat kategori Mutu IA, Mutu IB, Mutu II,dan Mutu III. Vanili yang baik memiliki bau wangi khas vanili, dengan warna hitam mengkilap, hitam kecoklatan, bentuk utuh, dengan kadar vanili paling baik 2,25%. Sedangkan mutu di bawahnya memiliki kadar 1,00-1,50%.
Dukungan varietas dari Kementerian Pertanian juga tidak kalah penting. Varietas Vanili seperti Vania 1 dan Vania 2 yang dihasilkan oleh BPSI Tanaman Rempah, Obat dan Aromatik, Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BISP). Kedua varietas unggulan ini berasal dari species Vanilla planifolia Andrews dengan rata-rata produksi Vania 1 sebesar 7,687 ton polong basah/ha atau setara 2,178 ton polong kering/ha, dengan rata-rata jumlah tandan/tanaman sebanyak 8,333 tandan, kadar vanilin sebesar 2,80% di atas standar mutu, dan rata-rata panjang polong kering 20,153 cm. Sedangkan rata-rata produksi Vania 2 sebesar 6,760 ton polong basah/ha atau setara 1.851 ton polong kering/ha. Rata-rata jumlah tandan/tanaman sebanyak 7,055 tandan, kadar vanilin sebesar 2,98%, dan rata-rata panjang polong kering 19,250 cm. Produksi polong kering Vania 1 dan Vania 2 jauh di atas klon lokal dan rata-rata nasional yang hanya mencapai 0,654 ton/ha dan 0,119 ton/ha.
Tujuan Eksport Vanili
Destinasi konsumen terbesar vanilli di dunia adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Uni Eropa adalah komunitas perdagangan terbesar di dunia (single market) yang menerapkan standar keamanan pangan yang sangat tinggi. Ada dua tipe vanilli di pasaran yaitu Bourbon Vanilli dan Tahiti Vanilli. Bourbon Vanilli berasal dari spesies Vanilla planifolia, banyak dibudidayakan di Madagaskar dan paling diminati di pasar UE. Negara produsen lain seperti Papua Nugini dan Indonesia menghasilkan Tahiti Vanilli dari species Vanilla tahitenis dengan aroma vanili yang tidak sekuat Bourbon Vanilli.
Penolakan ekspor vanili ke Uni Eropa dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah kontaminasi jamur Mycotoxin yang melebihi batas yang telah ditetapkan. Standar kesehatan yang harus dijaga dengan ketat mencakup ambang batas sebesar 5 µg/kg untuk Aflatoksin B1 dan 10 µg/kg untuk total Aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Selain itu, kandungan Ochratoksin yang melebihi 15 µg/kg juga dapat menjadi alasan utama penolakan ekspor vanili. Proses pengeringan vanili menggunakan kayu bakar turut menyumbang pada masalah, dengan kontaminasi Anthraquinone (Aq) yang melebihi batas residu maksimum. Adanya substansi ini dalam jumlah yang tidak sesuai standar dapat memicu penolakan produk vanili. Selain itu, kontaminasi Salmonella menjadi faktor risiko lainnya, dimana keberadaannya dapat memberikan alasan kuat untuk menolak ekspor vanili. Selain itu, kandungan food additive yang tidak sesuai standar atau bersifat undeclared dan unauthorized, serta adanya benda asing (extraneous materials) yang melebihi batas yang ditetapkan, juga menjadi penyebab penolakan ekspor vanili. Kontaminasi pada kemasan vanili juga harus menjadi perhatian agar ekspor vanili tidak ditolak.Top of Form
Menurut Badan Karantina Pertanian, phytosanitary certificates diperlukan untuk ekspor produk tanaman karena merupakan instrumen penting dalam memastikan kepatuhan terhadap standar kesehatan tanaman yang telah ditetapkan, sehingga dapat mencegah penyebaran penyakit serta organisme berbahaya ke negara tujuan. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan regulasi perdagangan internasional yang mungkin berlaku, seperti izin ekspor dari negara asal dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh negara tujuan.
Meskipun banyak tantangan dalam budidaya vanili, berbekal pengetahuan yang cukup dan komitmen yang kuat, petani vanili dapat mengatasi hambatan yang ada dan dapat menghasilkan produk vanili berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Tentunya, harus memenuhi persyaratan tarif dan non tarif, termasuk tuntutan mutu dari negara tujuan ekspor.
(sumber: tulisan disarikan dari beberapa sumber)
Penulis: Myk & Okt
Editor: Nng